Foto Adi dan Iva
Kisah cinta antara Adi dan Iva dimulai di sebuah desa kecil di Madura pada akhir 1990-an, ketika dunia mereka masih sederhana namun penuh dengan gairah muda. Adi, seorang pemuda desa Baban, Gapura, Sumenep, dikenal sebagai anak yang baik, cerdas, dan penuh semangat. Meskipun ia hidup dalam kesederhanaan, Adi memiliki mimpi besar, salah satunya adalah menjalin kehidupan bersama dengan Iva, gadis cantik berdarah Arab dari Pajagalan, Kecamatan Kota Sumenep.
Pada tahun 1999, saat mereka masih duduk di bangku SMA, Adi dan Iva mulai mengenal satu sama lain. Di tengah masa remaja yang penuh warna, hubungan mereka berkembang dari pertemanan menjadi cinta yang tulus. Setiap pagi Adi menunggu di depan gerbang sekolah, berharap bisa berpapasan dengan Iva. Senyum Iva, yang selalu mengenakan jilbab indah dan memiliki aura anggun, membuat hati Adi berdebar setiap kali melihatnya. Iva pun, meskipun berasal dari keluarga Arab yang terpandang, tertarik pada Adi yang berkepribadian hangat dan tulus. Mereka mulai berbicara, sering bertukar catatan kecil di sela-sela jam pelajaran, hingga akhirnya menjadi sepasang kekasih.
Tahun 2000 tiba, dan Adi pun lulus dari sekolah lebih dulu. Di sisi lain, Iva masih berada di kelas tiga SMA. Hubungan mereka harus menghadapi ujian pertama ketika Adi memutuskan untuk merantau ke Bali demi mencari pekerjaan. Meski berat, Adi yakin bisa membangun masa depan yang lebih baik di sana. Namun, perpisahan itu terasa begitu menyakitkan. Setiap malam, Adi mengingat senyum dan tawa Iva, yang membuat dirinya merasa tidak sanggup berpisah terlalu lama.
Di Bali, Adi bekerja keras sebagai buruh di sebuah perusahaan yang membuat gazebo dengan sistem knockdown. Walaupun pekerjaan itu berat, Adi tetap bertahan demi mengumpulkan uang dan pulang untuk melamar Iva. Namun, seiring berjalannya waktu, rasa rindu yang menumpuk membuatnya tidak betah. Setiap hari terasa sepi tanpa kehadiran Iva. Hingga akhirnya, Adi mengambil keputusan besar: ia meninggalkan pekerjaannya di Bali dan pulang ke Madura. Cinta yang ia rasakan untuk Iva terlalu kuat untuk diabaikan.
Ketika Adi kembali, mereka kembali bersatu. Namun hubungan mereka tidaklah mudah. Iva, yang mulai terpengaruh oleh ajakan Adi, sering bolos sekolah. Keduanya kerap menghabiskan waktu bersama, melarikan diri dari dunia luar, hingga akhirnya pihak sekolah mengetahui perbuatan mereka dan Iva dikeluarkan. Keputusan ini membuat keluarga Iva sangat marah, terutama karena mereka menganggap Adi tidak pantas untuk Iva. Sebagai seorang keturunan Syarifah, keluarga Iva menginginkan calon suami yang setara dalam hal status sosial, bukan pemuda desa seperti Adi.
Meski cinta mereka menghadapi rintangan besar, Adi memberanikan diri untuk melamar Iva. Namun, lamaran itu ditolak mentah-mentah oleh keluarga Iva. Tidak menyerah, Iva pun berani mengambil langkah nekat: ia kabur dari rumah dan pergi ke rumah Adi. Ini terjadi bukan hanya sekali, tapi hingga tiga kali. Setiap kali dijemput oleh keluarganya, Iva selalu kembali ke Adi, seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang mengikat mereka berdua.
Melihat keteguhan cinta mereka, akhirnya Iva dan Adi menikah secara sederhana di KUA, meski tanpa restu dari keluarga besar Iva. Setelah menikah, kehidupan baru dimulai untuk pasangan muda ini. Anak pertama mereka, seorang bayi laki-laki yang diberi nama Dillah, lahir tak lama kemudian. Kehidupan mereka di Madura berlangsung penuh perjuangan, hingga akhirnya Adi memutuskan untuk merantau kembali ke Bali, kali ini bersama istri dan anaknya. Di Bali, Adi bekerja keras, dan meskipun dimulai sebagai buruh kasar, ia perlahan-lahan mendapatkan kepercayaan dari perusahaannya hingga diangkat menjadi karyawan tetap dan bahkan menjadi akuntan.
Namun, di tengah kesuksesannya, Adi mulai berubah. Godaan kehidupan kota dan kenikmatan materi membuatnya lupa akan cintanya yang dulu begitu murni. Adi mulai sering mabuk, pulang larut malam, dan tanpa sepengetahuan Iva, ia menjalin hubungan gelap dengan seorang perempuan Cina dari Malang bernama Sylly. Kabar ini akhirnya sampai ke telinga Iva, yang merasa hancur dan kecewa. Saat itu, Iva tengah mengandung anak kedua mereka, namun rasa sakit di hatinya membuatnya ingin pulang ke Madura.
Adi, yang merasakan beban kesalahan, memutuskan untuk meninggalkan Bali dan kembali ke kampung halaman mereka. Anak kedua mereka lahir dengan selamat dan diberi nama Nazua Reyfa Labibah, atau dipanggil Reyfa. Namun, meski telah kembali ke Madura, kehidupan mereka tidak serta-merta membaik. Adi sempat bekerja serabutan, dari kuli bangunan hingga buruh sawah, namun keberuntungan datang ketika ia mendapat kepercayaan untuk bekerja di perusahaan kontraktor milik kerabatnya. Adi mulai mendapatkan kembali kejayaannya, memegang proyek-proyek besar, termasuk proyek besar di Sumenep senilai 40 miliar rupiah.
Namun, kesuksesan itu lagi-lagi membawa Adi pada godaan. Saat mengerjakan proyek di Tulungagung, Adi bertemu dengan seorang janda bernama Tutik Maulida, dan hubungan mereka berkembang menjadi hubungan poligami. Kehidupan rumah tangga Adi dan Iva semakin retak, dengan pertengkaran yang tak terhindarkan. Pada akhirnya, Iva tidak bisa lagi menahan luka dan memilih untuk bercerai. Keputusan itu membuat Adi kehilangan arah. Kehidupannya hancur, ia terjerumus ke dalam narkoba, dan selama bertahun-tahun hidupnya penuh dengan kekacauan.
Selama lima tahun setelah perceraian, Adi merasakan kehancuran di segala aspek kehidupannya. Karirnya runtuh, usahanya hancur, dan ia merasa kosong tanpa kehadiran Iva. Namun, di titik terendahnya, sebuah mukjizat datang. Adi tersadar bahwa cintanya kepada Iva tidak pernah hilang, meskipun mereka sudah terpisah. Kata-kata yang selalu terngiang di benaknya adalah, "Kamu adalah wanita yang pernah kuikhlaskan, tapi tetap kudoakan. Kamu adalah wanita yang mengajarkanku bahwa mencintai tak harus memiliki."
Perlahan-lahan, Adi bangkit dari keterpurukannya. Meskipun ia telah kehilangan Iva, cintanya yang tulus selalu mendoakan kebahagiaan Iva. Kisah mereka menjadi bukti bahwa cinta sejati bisa mengalahkan banyak hal, meski tidak selalu harus berakhir dengan bersama.
( Kompas Nusantara )
0 Komentar